Sabtu, 30 Januari 2016

Prinsip Mudharabah

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PRINSIP MUDHARABAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH

Abstrak
Mudharabah merupakan transaksi yang bersifat investasi dalam rangka penyediaan modal usaha untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan bersama antara bank dan nasabah. Pembiayaan murabahah ini secara prinsip merupakan saluran penyaluran dana bank syariah dengan prinsip syariah. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Prinsip mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara shahibul maal (pemilik dana/Bank Syariah) dan mudharib (pengelola dana/nasabah) dengan nisab bagi hasil yakni membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad.

KEARIFAN LOKAL DALAM PERLINDUNGAN DAN PENGOLAHAN LINGKUNGAN HIDUP



KEARIFAN LOKAL DALAM
PERLINDUNGAN DAN PENGOLAHAN LINGKUNGAN HIDUP
Oleh :
Ardiana Hidayah[1]


A. Latar Belakang
Lingkungan merupakan aset pembangunan yang perlu perlindungan dari manusia itu sendiri sebagai yang memanfaatkannya. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidupnya, manusia telah menimbulkan kesengsaraan berupa bencana alam yang disebabkan karena tindakannya yang tidak dapat menjaga alam dengan baik. Dari hal tersebut manusia mulai berfikir dan bekerja secara aktif untuk memahami lingkungannya yang memberikan tantangan dan mengembangkan cara-cara yang paling menguntungkan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup yang terus cenderung meningkat dalam jumlahnya, ragam dan mutunya.
Alvi Syahrin menyatakan bahwa “dengan kemampuan bekerja dan berfikir secara metaforik, manusia tidak lagi mengandalkan naluri dalam beradaptasi dengan lingkungan, ia mulai secara aktif mengolah sumberdaya alam dan mengelola lingkungan sesuai dengan resep-resep budaya yang merupakan himpunan abstraksi pengalaman mereka menghadapi tantangan.” [2]
Manusia dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya mengembangkan kearifan lingkungan berupa pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktifitas serta peralatan, sebagai hasil abstraksi pengalaman yang dihayati oleh segenap masyarakat pendukungnya dan yang menjadi pedoman atau kerangka acuan untuk melihat, memahami, memilah-milah gejala yang dihadapi serta memilih strategi bersikap maupun bertindak dalam mengelola lingkungan.
Keanekaragaman pola-pola adaptasi manusia terhadap lingkungan, terkadang tidak mudah dimengerti oleh pihak ketiga yang mempunyai latar belakang sosial dan kebudayaan yang berbeda. Namun demikian, keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan tersebut merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan.
Menurut Merchant, “krisis lingkungan global yang berlangsung sejak tiga dasa warsa terakhir ini merupakan konsekuensi dari penggunaan pola-pola kegiatan pembangunan yang semata-mata diorientasikan untuk meraih pertumbuhan ekonomi.”[3]
Kerusakan lingkungan yang terjadi di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, cenderung untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Konsekuensi yang muncul kemudian adalah selain secara nyata telah menimbulkan degradasi kuantitasmaupun kualitas sumber daya alam yang menimbulkan perubahan iklim global (ecological loss), juga karena coraknya yang sentralistik menutup ruang bagi partisipasi masyarakat dan akses masyarakat terhadap alam sebagai sumber kehidupan (economical loss), dan menggusur serta mengabaikan variasi-variasi kebudayaan lokal yang mencerminkan kearifan lingkungan (ecological wisdom) masyarakat asli (indigenous people) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam (social and cultural loss). Jadi, seperti kata Bodley, “kegiatan pembangunan yang didominasi negara, bercorak sentralistik, dan semata-mata diorientasikan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi pada akhirnya hanya menimbulkan korban-korban pembangunan (victims of development).”[4] 
Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, modal sosial dalam wujud etika, religi, kearifan lingkungan, dan norma-norma hukum lokal (folk/customary/adat law) merupakan kekayaan budaya yang harus diperhitungkan, didayagunakan, dan diakomodasi dalam pembuatan kebijakan dan pembentukan hukum negara (state law) mengenai perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam. Indonesia dituntut secara konsisten dalam memperhatikan dan mengakomodasi kearifan lingkungan (ecological wisdom) masyarakat lokal dalam pembuatan kebijakan dan penyusunan peraturan perundang-undangan, sebagai wujud penghormatan dan pengakuan terhadap pluralisme hukum (legal pluralism) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang memiliki kemajemukan budaya.
Kearifan terhadap lingkungan dapat dilihat dari bagaimana perlakuan kita terhadap benda-benda, tumbuhan, hewan, dan apapun yang ada di sekitar kita. Perlakuan ini melibatkan penggunaan akal budi kita sehingga dari perlakuan-perlakuan tersebut dapat tergambar hasil dari aktivitas budi kita. Akumulasi dari hasil aktivitas budi dalam menyikapi dan memperlakukan lingkungan disebut pengetahuan lokal atau biasa disebut kearifan lokal. Kearifan lokal ini menggambarkan cara bersikap dan bertindak kita untuk merespon perubahan-perubahan yang khas dalam lingkup lingkungan fisik maupun kultural.[5]

B. Permasalahan
Dalam makalah ini yang menjadi permasalahan adalah :
-       Bagaimana kearifan lokal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup?
-       Bagaimana peran serta pemerintah dan masyarakat dalam kearifan lokal?

C. Kearifan Lokal dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
1.   Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan merupakan seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat setempat (komunitas) yang terhimpun dari pengalaman panjang menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis.[6]
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan pada Pasal 1 ayat 30, “kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.”
Menurut Gobyah, kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Ridwan menyatakan kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. [7]
Kearifan (wisdom) secara etimologi berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Menurut Geertz kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya.[8] Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.[9]

  1. Prinsip-prinsip Kearifan Lokal dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Secara tekstual dalam UU Nomor 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak menyatakan dengan tegas pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup melalui prinsip-prinsip kearifan lokal sebagai konsekuensi dari pluralisme hukum di Indonesia. Tetapi secara kontekstual dalam ketentuan yang mengatur tentang asas, tujuan dan sasaran pengelolaan lingkungan hidup yang menjadi harapan dari undang-undang ini.
Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan
cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi
nilainya. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati
dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu
dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi
antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan
wawasan Nusantara.
Ketersedian sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi
dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab
negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan.
Selain hal tersebut di atas, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu
kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.
Prinsip-prinsip kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup mempunyai fungsionalisasi dapat memperkaya prinsip pengelolaan lingkungan hidup nasional karena prinsip ini bersumber dari cita hukum masyarakat menyebabkan adanya penaatan hukum secara sukarela. Prinsip-prinsip tersebut sudah menjadi bagian dari spirit hidup yang dianut masyarakat adat sehingga akan memudahkan bagi penerapan dan terikatnya masyarakat pada ketentuan hukum yang telah diatur oleh desa adat. Prinsip tersebut jika diadopsi dalam proses pembentukan peraturan perundangan-undangan akan memberikan penguatan terhadap kearifan lokal.

  1. Kearifan Lokal dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Kerangka Hukum Nasional
Memahami hukum sebagai institusi sosial, menjadikan hukum diminta untuk mampu sebagai sarana agar keadilan dapat diselenggarakan secara seksama. Hukum juga mengemban fungsi sebagai: [10]
    1. Memelihara stabilitas. Institusi hukum menimbulkan kemapanan dan keteraturan dalam usaha masyarakat untuk memberikan keadilan (dispensing justice).
    2. Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diajukan anggota masyarakat, sehingga kebutuhan yang bersifat individual itu bertemu dengan pembatasan-pembatasan yang dibuat oleh masyarakat.
    3. Menciptakan kaidah-kaidah sehingga kebutuhan anggota masyarakat dapat dipenuhi secara terorganisasi. Dengan demikian terjemalah posisi-posisi yang kait mengkait secara sistematis dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut.
    4. Jalinan antar institusi. Sekalipun institusi dalam masyarakat dirancang untuk memenuhi kebutuhan tertentu, tetapi kemungkinan terjadi tumpang tindih. Keadilan tidak hanya dilayani oleh institusi hukum, tetapi mungkin juga ekonomi. Terdapat pula hubungan sinergis antar institusi, sehingga perubahan padan institusi yang satu akan berimbas kepada yang lain.

Hukum terbentuk dan berkembang sebagai produk yang sekaligus mempengaruhi, dan karena itu mencerminkan dinamika proses interaksi yang berlansung terus menerus antara berbagai kenyataan kemasyarakatan (aspirasi manusia, keyakinan agama, sosial, ekonomi, politik, moral, kondisi kebudayaan dan peradapan dalam batas-batas alamiah) satu dengan lainnya yang berkonfrontrasi dengan kesadaran dan penghayatan manusia terhadap kenyataan kemasyarakatan itu yang berakar dalam pandangan hidup yang dianut serta kepentingan kebutuhan nyata manusia , sehingga hukum dan tatanan hukumnya bersifat dinamis.[11]
Kearifan tradisional dalam pembangunan hukum nasional berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup telah mendapat tempat diperhatikan. Beberapa contoh ketentuan perundang-undangan menegaskan hal tersebut, seperti yang diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Pada Pasal 1 ayat 30 dan 31 UUPPLH menyatakan bahwa :
(30) Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
(31) Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Dalam Pasal 2 UUPPLH:
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:
a.             tanggung jawab negara;
b.            kelestarian dan keberlanjutan;
c.             keserasian dan keseimbangan;
d.            keterpaduan;
e.             manfaat;
f.             kehati-hatian;
g.            keadilan;
h.            ekoregion;
i.              keanekaragaman hayati;
j.              pencemar membayar;
k.            partisipatif;
l.              kearifan lokal;
m.          tata kelola pemerintahan yang baik; dan
n.            otonomi daerah.
Penjelasan umum angka 2 UUPPLH, yang menyebutkan:
“…, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan.”

Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.

- Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah: [12]
a.             Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.
b.            Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan.
c.             Membangun hubungan interdependensi antar daerah.
d.            Menetapkan pendekatan kewilayahan.
Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dengan PP No. 25 Tahun 2000, Pengelolaan Lingkungan Hidup titik tekannya ada di Daerah, maka kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit PROPENAS merumuskan program yang disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program itu mencakup : [13]

a.       Program Pengembangan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.

Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah.

b.      Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam.

Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya, sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif
c.       Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup.
Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
d.      Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten.
e.       Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.

D. Peran Serta Pemerintah dan Masyarakat dalam Kearifan Lokal
Pemerintah dan masyarakat berperan penting dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Tanpa adanya peran serta semua pihak di negara Indonesia maka akan timbul permasalahan lingkungan dalam pembangunan, yaitu :
  1. Resiko lingkungan yang timbul dari kegiatan, perilaku, sikap dan kebiasaan masyarakat tradisional;
  2. Resiko modern yang tumbuh dari kebiasaan dan cara hidup yang datang bersama modernisasi.[14]

- Pemerintah
            Pemerintah sebagai lembaga tertinggi dalam suatu Negara berwenang untuk mengatur ataupun mengendalikan apa saja yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, dan dalam Undang-undang Dasar 1945 Amandemen I-IV dalam pasal 33 yang mengatur tentang sumber-sumber Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk mengimplementasikan hal tersebut maka peme­rintah melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan ling­kungan hidup.
  2. Mengatur     penyediaan,      peruntukan, penggunaan,   pengelolaan  lingkungan hidup dan pememfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber genetika.
  3. Mengatur perbuatan   hukum   dan   hubungan hukum antara orang lain dan/atau subyek hukum lainya serta pembuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika.
  4. Mengendalikan   kegiatan   yang   mempunyai dampak sosial.
  5. Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup se­suai     peraturan     perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Pasal 63 UUPPLH mengatur tentang tugas dan wewenang pemerintah baik pusat maupun daerah pada kearifan lokal. Pada Pasal 36 ayat 1 huruf t yakni di dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang untuk menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 63 ayat 2 huruf n mengatur  perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada pemerintah provinsi bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi. Sedangkan pada ayat 3 huruf k menjelaskan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang untuk melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.

- Masyarakat
Masyarakat dengan pengetahuan dan kearifan lokal telah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pra-sejarah sampai sekarang ini, kearifan tersebut merupa­kan perilaku positif manusia dalam berhu-bungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat,[15] yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, bu­daya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu.
Peran serta masyarakat dalam Pasal 70 UUPPLH meliputi :
  1. Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
  2. Peran masyarakat dapat berupa pengawasan sosial; pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan.
  3. Peran masyarakat dilakukan untuk meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Menurut Cormick, berdasarkan sifatnya, peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan lingkungan dibedakan menjadi dua yaitu konsultatif dan kemitraan.[16]
Pola partisipatif yang bersifat konsultatif ini biasanya dimanfaatkan oleh pengambilan kebijakan sebagai suatu strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat (public support). Dalam pendekatan yang bersifat konsultatif ini meskipun anggota masyarakat yang berkepentingan mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan hak untuk diberitahu, tetapi keputusan akhir tetap ada ditangan kelompok pembuat keputusan tersebut (Pemrakarsa). Pendapat masyarakat di sini bukanlah merupakan faktor penentu dalam pengambilan keputusan, selain sebagai strategi memperoleh dukungan dan legitimasi publik.
Sedangkan pendekatan partisipatif yang bersifat kemitraan lebih menghargai masyarakat lokal dengan memberikan kedudukan atau posisi yang sama dengan kelompok pengambil keputusan. Karena diposisikan sebagai mitra, kedua kelompok yang berbeda kepentingan tersebut membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan membuat keputusan secara bersama-sama. Dengan demikian keputusan bukan lagi menjadi monompoli pihak pemerintah dan pengusaha, tetapi ada bersama dengan masyarakat. dengan konsep ini ada upaya pendistribusian kewenangan pengambilan keputusan.
Partisipasi masyarakat dalam teori politik sering disebut “Participatory Democracy”. Gibson (1981) salah satu penganjur “Participatory Democracy” menyatakan bahwa penyelarasan kedua macam kepentingan tersebut dapat terwujud jika proses pengambilan keputusan menyediakan kesempatan seluas-luasnya kepeda mereka untuk mengungkapkan kepentingan dan pandangan mereka. Proses pengambilan keputusan, yang menyediakan kelompok kepentingan untuk berperan serta didalamnya, dapat mengantarkan kelompok-kelompok yang berbeda kepentingan mencapai saling pengertian dan penghayatan terhadap satu sama lain. Dengan demikian perbedaaan kepentingan dapat dijembatani. Untuk mengefektifkan partisipasi masyarakat mutlak dibutuhkan prakondisi-prakondisi.
Hardjasoemantri merumuskan syarat-syarat agar partisipasi masyarakat menjadi efektif dan berdaya guna, sebagai berikut: [17]
  1. Pemastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya;
  2. Informasi lintas batas (transfrontier information); mengingat masalah lingkungan tidak mengenal batas wilayah yang dibuat manusia;
  3. Informasi tepat waktu (timely information); suatu proses peran serta masyarakat yang efektif memerlukan informasi sedini dan seteliti mungkin, sebelum keputusan terakhir diambil sehingga masih ada kesempatan untuk mempertimbangkan dan mengusulkan alternatif-alternatif pilihan;
  4. Informasi yang lengkap dan menyeluruh (comprehensive information); dan
  5. Informasi yang dapat dipahami (comprehensible information).

E. Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan :
  1. Kearifan lokal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan dilaksanakan dalam rangka tata kehidupan masyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
  2. Pemerintah dan masyarakat berperan penting dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Tanpa adanya peran serta semua pihak di negara Indonesia maka akan timbul permasalahan lingkungan dalam pembangunan.



Daftar Bacaan
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Alvi Syahrin, Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Kerangka Hukum Nasional,

Erwan, Kearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi Lingkungan,http://www.esaunggul.ac.id/index.php?mib=content.detail&id=215&title=Kearifan%20Lokal,%20Pengetahuan%20Lokal%20dan%20Degradasi%20Lingkungan, diakses tanggal 21 Juni 2011.

Gusti Nurpansyah, Strategi dan Program Peningkatan Peran Masyarakat dalam Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan, http://www.gustinurpansyah.com/strategi-dan-program-peningkatan-peran-masyarakat-dalam-penyelamatan-lingkungan-hidup-dan-pembangunan-berkelanjutan.php , diakses tanggal 26 Juni 2011.

Imam S. Ernawi, Harmonisasi Kearifan Lokal dalam Regulasi Penataan Ruang, Makalah pada Seminar Nasional “Urban Culture, Urban Future : Harmonisasi Penataan Ruang dan Budaya Untuk Mengoptimalkan Potensi Kota.”

I Nyoman Nurjaya, Kearifan Lokal dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, http://manifestmaya.blogspot.com/2008/01/kearifan-lokal-dan-pengelolaan.html, diakses tanggal 21 Juni 2011.

Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan, Unsri, Palembang, 2006.

______, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijakasanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2009.

Nurman Ali Ridwan, Landasan Keilmuwan Kearifan Lokal, Ibda, P3M STAIN Purwokerto, Vol. 5 No. 1 Jan-Jun 2007 |27-38.

Rudiansyah, Bunga Rampai Hukum Lingkungan (Kumpulan Bahan Kuliah), CV. Putra Penuntun, Palembang, 2011.

Sukandi Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Sudarmadji, Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup dan Otonomi Daerah, http://geo.ugm.ac.id/archives/125, diakses tanggal  26 Juni 2011.

Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.


[1] Dosen Fakultas Hukum Universitas Palembang
[2] Alvi Syahrin, Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Kerangka Hukum Nasional, http://alvisyahrin.blog.usu.ac.id/2011/05/09/kearifan-lokal-dalam-pengelolaan-lingkungan-hidup-pada-kerangka-hukum-nasional/, diakses tanggal 21 Juni 2011.
[3] I Nyoman Nurjaya, Kearifan Lokal dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, http://manifestmaya.blogspot.com/2008/01/kearifan-lokal-dan-pengelolaan.html, diakses tanggal 21 Juni 2011.
[4] Ibid.
[5] Nurman Ali Ridwan, Landasan Keilmuwan Kearifan Lokal, Ibda, P3M STAIN Purwokerto, Vol. 5 No. 1 Jan-Jun 2007 |27-38, hlm.1.
[6] Alvi Syahrin, Loc.Cit.
[7] Imam S. Ernawi, Harmonisasi Kearifan Lokal dalam Regulasi Penataan Ruang, Makalah pada Seminar Nasional “Urban Culture, Urban Future : Harmonisasi Penataan Ruang dan Budaya Untuk Mengoptimalkan Potensi Kota.”
[8] Ibid.
[9] Nurman Ali Ridwan, Op.Cit, hlm. 3.
[10] Alvi Syahrin, Loc. Cit.
[11] Ibid.

[12] Sudarmadji, Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup dan Otonomi Daerah, http://geo.ugm.ac.id/archives/125, diakses tanggal  26 Juni 2011.

[13] Ibid.
[14] Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan, Unsri, Palembang, 2006, hlm. 64.
[15]   Wietoler dalam Erwan, Kearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi Lingkungan,http://www.esaunggul.ac.id/index.php?mib=content.detail&id=215&title=Kearifan%20Lokal,%20Pengetahuan%20Lokal%20dan%20Degradasi%20Lingkungan , diakses tanggal 21 Juni 2011.

[16] Cormick dalam Gusti Nurpansyah, Strategi dan Program Peningkatan Peran Masyarakat dalam Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan, http://www.gustinurpansyah.com/strategi-dan-program-peningkatan-peran-masyarakat-dalam-penyelamatan-lingkungan-hidup-dan-pembangunan-berkelanjutan.php , diakses tanggal 26 Juni 2011.

[17] Hardjasoemantri dalam Gusti Nurpansyah, Loc. Cit.