TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PRINSIP MUDHARABAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH
Abstrak
Mudharabah
merupakan transaksi yang bersifat investasi dalam rangka penyediaan
modal usaha untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan
bersama antara bank dan nasabah. Pembiayaan murabahah ini secara prinsip
merupakan saluran penyaluran dana bank syariah dengan prinsip syariah.
Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Prinsip mudharabah adalah
akad kerja sama usaha antara shahibul maal (pemilik dana/Bank Syariah)
dan mudharib (pengelola dana/nasabah) dengan nisab bagi hasil yakni
membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam
akad.
Sabtu, 30 Januari 2016
KEARIFAN LOKAL DALAM PERLINDUNGAN DAN PENGOLAHAN LINGKUNGAN HIDUP
KEARIFAN LOKAL DALAM
PERLINDUNGAN DAN PENGOLAHAN
LINGKUNGAN HIDUP
Oleh :
Ardiana Hidayah[1]
A. Latar Belakang
Lingkungan merupakan aset pembangunan yang perlu
perlindungan dari manusia itu sendiri sebagai yang memanfaatkannya. Dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan hidupnya, manusia telah menimbulkan
kesengsaraan berupa bencana alam yang disebabkan karena tindakannya yang tidak
dapat menjaga alam dengan baik. Dari hal tersebut manusia mulai berfikir dan
bekerja secara aktif untuk memahami lingkungannya yang memberikan tantangan dan
mengembangkan cara-cara yang paling menguntungkan dalam upaya memenuhi
kebutuhan hidup yang terus cenderung meningkat dalam jumlahnya, ragam dan
mutunya.
Alvi Syahrin menyatakan bahwa “dengan kemampuan
bekerja dan berfikir secara metaforik, manusia tidak lagi mengandalkan naluri
dalam beradaptasi dengan lingkungan, ia mulai secara aktif mengolah sumberdaya
alam dan mengelola lingkungan sesuai dengan resep-resep budaya yang merupakan
himpunan abstraksi pengalaman mereka menghadapi tantangan.” [2]
Manusia dalam menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya mengembangkan kearifan lingkungan berupa pengetahuan atau ide,
norma adat, nilai budaya, aktifitas serta peralatan, sebagai hasil abstraksi
pengalaman yang dihayati oleh segenap masyarakat pendukungnya dan yang menjadi
pedoman atau kerangka acuan untuk melihat, memahami, memilah-milah gejala yang
dihadapi serta memilih strategi bersikap maupun bertindak dalam mengelola
lingkungan.
Keanekaragaman pola-pola adaptasi manusia terhadap
lingkungan, terkadang tidak mudah dimengerti oleh pihak ketiga yang mempunyai
latar belakang sosial dan kebudayaan yang berbeda. Namun demikian,
keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan tersebut merupakan faktor
yang harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang
berkelanjutan.
Menurut Merchant,
“krisis lingkungan global yang berlangsung sejak tiga dasa warsa terakhir ini
merupakan konsekuensi dari penggunaan pola-pola kegiatan pembangunan yang
semata-mata diorientasikan untuk meraih pertumbuhan ekonomi.”[3]
Kerusakan lingkungan
yang terjadi di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, cenderung
untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Konsekuensi yang muncul kemudian adalah
selain secara nyata telah menimbulkan degradasi kuantitasmaupun kualitas sumber
daya alam yang menimbulkan perubahan iklim global (ecological loss), juga karena coraknya yang sentralistik menutup
ruang bagi partisipasi masyarakat dan akses masyarakat terhadap alam sebagai
sumber kehidupan (economical loss),
dan menggusur serta mengabaikan variasi-variasi kebudayaan lokal yang
mencerminkan kearifan lingkungan (ecological
wisdom) masyarakat asli (indigenous
people) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam (social and cultural loss). Jadi, seperti
kata Bodley, “kegiatan pembangunan yang didominasi negara, bercorak
sentralistik, dan semata-mata diorientasikan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi
pada akhirnya hanya menimbulkan korban-korban pembangunan (victims of development).”[4]
Dalam konteks pengelolaan
sumber daya alam, modal sosial dalam wujud etika, religi, kearifan lingkungan,
dan norma-norma hukum lokal (folk/customary/adat
law) merupakan kekayaan budaya yang harus diperhitungkan, didayagunakan,
dan diakomodasi dalam pembuatan kebijakan dan pembentukan hukum negara (state law) mengenai perlindungan dan
pengelolaan sumber daya alam. Indonesia dituntut secara konsisten dalam
memperhatikan dan mengakomodasi kearifan lingkungan (ecological wisdom) masyarakat lokal dalam pembuatan kebijakan dan
penyusunan peraturan perundang-undangan, sebagai wujud penghormatan dan
pengakuan terhadap pluralisme hukum (legal
pluralism) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang
memiliki kemajemukan budaya.
Kearifan terhadap lingkungan dapat dilihat dari
bagaimana perlakuan kita terhadap benda-benda, tumbuhan, hewan, dan apapun yang
ada di sekitar kita. Perlakuan ini melibatkan penggunaan akal budi kita
sehingga dari perlakuan-perlakuan tersebut dapat tergambar hasil dari aktivitas
budi kita. Akumulasi dari hasil aktivitas budi dalam menyikapi dan
memperlakukan lingkungan disebut pengetahuan lokal atau biasa disebut kearifan
lokal. Kearifan lokal ini menggambarkan cara bersikap dan bertindak kita untuk
merespon perubahan-perubahan yang khas dalam lingkup lingkungan fisik maupun
kultural.[5]
B. Permasalahan
Dalam makalah ini
yang menjadi permasalahan adalah :
- Bagaimana kearifan
lokal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup?
- Bagaimana peran serta
pemerintah dan masyarakat dalam kearifan lokal?
C. Kearifan Lokal dalam Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
1.
Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan merupakan seperangkat pengetahuan
yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat setempat (komunitas) yang
terhimpun dari pengalaman panjang menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang
saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan lingkungan) secara
berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis.[6]
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan pada Pasal 1 ayat 30,
“kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara
lestari.”
Menurut Gobyah, kearifan lokal
didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu
daerah. Ridwan menyatakan kearifan lokal atau sering disebut local wisdom
dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya
(kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa
yang terjadi dalam ruang tertentu. [7]
Kearifan (wisdom) secara etimologi
berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi
sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi
tersebut terjadi. Dengan
demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang berlaku dalam
suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak
dan berperilaku sehari-hari. Menurut Geertz kearifan lokal merupakan entitas
yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya.[8]
Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan
kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang
menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.[9]
- Prinsip-prinsip Kearifan Lokal dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Secara tekstual
dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak menyatakan dengan tegas
pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup melalui prinsip-prinsip kearifan lokal
sebagai konsekuensi dari pluralisme hukum di Indonesia. Tetapi secara
kontekstual dalam ketentuan yang mengatur tentang asas, tujuan dan sasaran
pengelolaan lingkungan hidup yang menjadi harapan dari undang-undang ini.
Negara Kesatuan Republik Indonesia
terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim
tropis dan
cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi
nilainya. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati
dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu
dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi
antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan
wawasan Nusantara.
cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi
nilainya. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati
dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu
dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi
antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan
wawasan Nusantara.
Ketersedian sumber daya alam secara
kuantitas ataupun kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan
membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko
terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan
daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada
akhirnya menjadi beban sosial. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia
harus dilindungi
dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab
negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan.
dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab
negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan.
Selain hal tersebut di atas, pengelolaan
lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya
yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi,
serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan
lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya
suatu sistem yang terpadu berupa suatu
kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.
kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.
Prinsip-prinsip
kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup mempunyai fungsionalisasi
dapat memperkaya prinsip pengelolaan lingkungan hidup nasional karena prinsip
ini bersumber dari cita hukum masyarakat menyebabkan adanya penaatan hukum
secara sukarela. Prinsip-prinsip tersebut sudah menjadi bagian dari spirit
hidup yang dianut masyarakat adat sehingga akan memudahkan bagi penerapan dan
terikatnya masyarakat pada ketentuan hukum yang telah diatur oleh desa adat. Prinsip
tersebut jika diadopsi dalam proses pembentukan peraturan perundangan-undangan
akan memberikan penguatan terhadap kearifan lokal.
- Kearifan Lokal dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Kerangka Hukum Nasional
Memahami hukum sebagai institusi sosial,
menjadikan hukum diminta untuk mampu sebagai sarana agar keadilan dapat
diselenggarakan secara seksama. Hukum juga mengemban fungsi sebagai: [10]
- Memelihara stabilitas. Institusi hukum menimbulkan kemapanan dan keteraturan dalam usaha masyarakat untuk memberikan keadilan (dispensing justice).
- Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diajukan anggota masyarakat, sehingga kebutuhan yang bersifat individual itu bertemu dengan pembatasan-pembatasan yang dibuat oleh masyarakat.
- Menciptakan kaidah-kaidah sehingga kebutuhan anggota masyarakat dapat dipenuhi secara terorganisasi. Dengan demikian terjemalah posisi-posisi yang kait mengkait secara sistematis dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut.
- Jalinan antar institusi. Sekalipun institusi dalam masyarakat dirancang untuk memenuhi kebutuhan tertentu, tetapi kemungkinan terjadi tumpang tindih. Keadilan tidak hanya dilayani oleh institusi hukum, tetapi mungkin juga ekonomi. Terdapat pula hubungan sinergis antar institusi, sehingga perubahan padan institusi yang satu akan berimbas kepada yang lain.
Hukum terbentuk dan berkembang
sebagai produk yang sekaligus mempengaruhi, dan karena itu mencerminkan
dinamika proses interaksi yang berlansung terus menerus antara berbagai
kenyataan kemasyarakatan (aspirasi manusia, keyakinan agama, sosial, ekonomi,
politik, moral, kondisi kebudayaan dan peradapan dalam batas-batas alamiah)
satu dengan lainnya yang berkonfrontrasi dengan kesadaran dan penghayatan
manusia terhadap kenyataan kemasyarakatan itu yang berakar dalam pandangan
hidup yang dianut serta kepentingan kebutuhan nyata manusia , sehingga hukum
dan tatanan hukumnya bersifat dinamis.[11]
Kearifan tradisional dalam
pembangunan hukum nasional berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup telah
mendapat tempat diperhatikan. Beberapa contoh ketentuan perundang-undangan
menegaskan hal tersebut, seperti yang diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Pada Pasal 1 ayat 30 dan 31 UUPPLH menyatakan bahwa :
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Pada Pasal 1 ayat 30 dan 31 UUPPLH menyatakan bahwa :
(30) Kearifan lokal adalah
nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara
lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
(31) Masyarakat hukum adat
adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan
yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata
ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Dalam Pasal 2 UUPPLH:
Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:
a.
tanggung
jawab negara;
b.
kelestarian
dan keberlanjutan;
c.
keserasian
dan keseimbangan;
d.
keterpaduan;
e.
manfaat;
f.
kehati-hatian;
g.
keadilan;
h.
ekoregion;
i.
keanekaragaman
hayati;
j.
pencemar
membayar;
k.
partisipatif;
l.
kearifan
lokal;
m.
tata
kelola pemerintahan yang baik; dan
n.
otonomi
daerah.
Penjelasan umum angka 2
UUPPLH, yang menyebutkan:
“…, lingkungan hidup Indonesia
harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab
negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan
lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya
yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan,
desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan
kearifan lingkungan.”
Pengelolaan lingkungan
termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan
kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat
kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung
pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan
kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat
hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan
(interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah
membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya
tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan
bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.
- Kebijakan Nasional dan Daerah dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sesuai dengan Undang-undang 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam
bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas
dari pemerintah pusat kepada daerah: [12]
a.
Meletakkan
daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.
b.
Memerlukan
prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan.
c.
Membangun
hubungan interdependensi antar daerah.
d.
Menetapkan
pendekatan kewilayahan.
Dapat dikatakan bahwa
konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dengan PP No. 25 Tahun 2000,
Pengelolaan Lingkungan Hidup titik tekannya ada di Daerah, maka kebijakan
nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit PROPENAS merumuskan
program yang disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Program itu mencakup : [13]
a. Program Pengembangan dan Peningkatan Akses
Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk
memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan
produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan
evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai melalui
program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumberdaya alam dan
lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca
sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah.
b. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan
Rehabilitasi Sumber Daya Alam.
Tujuan dari program ini adalah
menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan
hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam
program ini adalah termanfaatkannya, sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan
bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain di program
adalah terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat
pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif
c.
Program
Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup.
Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas
lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan
dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam
yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini
adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah
tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku
mutu lingkungan yang ditetapkan.
d. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan
Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk mengembangkan
kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta
menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian
lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah
tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat
dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya
penegakan hukum secara adil dan konsisten.
e. Program Peningkatan Peranan Masyarakat
dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan
peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini
adalah tersediaanya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam
dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan
pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.
D. Peran Serta Pemerintah dan Masyarakat dalam Kearifan Lokal
Pemerintah dan masyarakat berperan penting
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Tanpa adanya peran serta
semua pihak di negara Indonesia maka akan timbul permasalahan lingkungan dalam
pembangunan, yaitu :
- Resiko lingkungan yang timbul dari kegiatan, perilaku, sikap dan kebiasaan masyarakat tradisional;
- Resiko modern yang tumbuh dari kebiasaan dan cara hidup yang datang bersama modernisasi.[14]
- Pemerintah
Pemerintah
sebagai lembaga tertinggi dalam suatu Negara berwenang untuk mengatur ataupun
mengendalikan apa saja yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di
Indonesia, dan dalam Undang-undang Dasar 1945 Amandemen I-IV dalam pasal 33
yang mengatur tentang sumber-sumber Negara yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Untuk mengimplementasikan hal tersebut maka pemerintah melakukan
hal-hal sebagai berikut:
- Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.
- Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup dan pememfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber genetika.
- Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang lain dan/atau subyek hukum lainya serta pembuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika.
- Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial.
- Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 63 UUPPLH mengatur tentang tugas dan
wewenang pemerintah baik pusat maupun daerah pada kearifan lokal. Pada Pasal 36
ayat 1 huruf t yakni di dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
Pemerintah bertugas dan berwenang untuk menetapkan kebijakan mengenai tata cara
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat
hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 63 ayat 2 huruf n mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
pada pemerintah provinsi bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan mengenai
tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak
masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat provinsi. Sedangkan pada ayat 3 huruf k
menjelaskan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang untuk melaksanakan kebijakan
mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal,
dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
- Masyarakat
Masyarakat dengan pengetahuan dan kearifan lokal
telah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman
pra-sejarah sampai sekarang ini, kearifan tersebut merupakan perilaku positif
manusia dalam berhu-bungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat
bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau
budaya setempat,[15]
yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk
beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi
suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun,
secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang
berkembang di suatu daerah yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa
yang tinggal di daerah itu.
Peran serta masyarakat dalam Pasal 70 UUPPLH
meliputi :
- Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
- Peran masyarakat dapat berupa pengawasan sosial; pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan.
- Peran masyarakat dilakukan untuk meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Menurut Cormick, berdasarkan sifatnya, peran serta
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan lingkungan
dibedakan menjadi dua yaitu konsultatif dan kemitraan.[16]
Pola partisipatif yang bersifat konsultatif ini
biasanya dimanfaatkan oleh pengambilan kebijakan sebagai suatu strategi untuk
mendapatkan dukungan masyarakat (public
support). Dalam pendekatan yang bersifat konsultatif ini meskipun anggota
masyarakat yang berkepentingan mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan hak
untuk diberitahu, tetapi keputusan akhir tetap ada ditangan kelompok pembuat
keputusan tersebut (Pemrakarsa). Pendapat masyarakat di sini bukanlah merupakan
faktor penentu dalam pengambilan keputusan, selain sebagai strategi memperoleh
dukungan dan legitimasi publik.
Sedangkan pendekatan partisipatif yang bersifat
kemitraan lebih menghargai masyarakat lokal dengan memberikan kedudukan atau
posisi yang sama dengan kelompok pengambil keputusan. Karena diposisikan
sebagai mitra, kedua kelompok yang berbeda kepentingan tersebut membahas
masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan membuat keputusan secara
bersama-sama. Dengan demikian keputusan bukan lagi menjadi monompoli pihak
pemerintah dan pengusaha, tetapi ada bersama dengan masyarakat. dengan konsep ini
ada upaya pendistribusian kewenangan pengambilan keputusan.
Partisipasi masyarakat dalam teori politik sering
disebut “Participatory Democracy”.
Gibson (1981) salah satu penganjur “Participatory
Democracy” menyatakan bahwa penyelarasan kedua macam kepentingan tersebut
dapat terwujud jika proses pengambilan keputusan menyediakan kesempatan
seluas-luasnya kepeda mereka untuk mengungkapkan kepentingan dan pandangan
mereka. Proses pengambilan keputusan, yang menyediakan kelompok kepentingan
untuk berperan serta didalamnya, dapat mengantarkan kelompok-kelompok yang
berbeda kepentingan mencapai saling pengertian dan penghayatan terhadap satu
sama lain. Dengan demikian perbedaaan kepentingan dapat dijembatani. Untuk
mengefektifkan partisipasi masyarakat mutlak dibutuhkan prakondisi-prakondisi.
Hardjasoemantri merumuskan syarat-syarat agar
partisipasi masyarakat menjadi efektif dan berdaya guna, sebagai berikut: [17]
- Pemastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya;
- Informasi lintas batas (transfrontier information); mengingat masalah lingkungan tidak mengenal batas wilayah yang dibuat manusia;
- Informasi tepat waktu (timely information); suatu proses peran serta masyarakat yang efektif memerlukan informasi sedini dan seteliti mungkin, sebelum keputusan terakhir diambil sehingga masih ada kesempatan untuk mempertimbangkan dan mengusulkan alternatif-alternatif pilihan;
- Informasi yang lengkap dan menyeluruh (comprehensive information); dan
- Informasi yang dapat dipahami (comprehensible information).
E. Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan :
- Kearifan lokal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan dilaksanakan dalam rangka tata kehidupan masyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
- Pemerintah dan masyarakat berperan penting dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Tanpa adanya peran serta semua pihak di negara Indonesia maka akan timbul permasalahan lingkungan dalam pembangunan.
Daftar Bacaan
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008.
Alvi Syahrin, Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan
Hidup pada Kerangka Hukum Nasional,
http://alvisyahrin.blog.usu.ac.id/2011/05/09/kearifan-lokal-dalam-pengelolaan-lingkungan-hidup-pada-kerangka-hukum-nasional/, diakses tanggal 21 Juni 2011.
Erwan, Kearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi Lingkungan,http://www.esaunggul.ac.id/index.php?mib=content.detail&id=215&title=Kearifan%20Lokal,%20Pengetahuan%20Lokal%20dan%20Degradasi%20Lingkungan, diakses tanggal 21 Juni 2011.
Gusti Nurpansyah, Strategi dan Program Peningkatan Peran
Masyarakat dalam Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan,
http://www.gustinurpansyah.com/strategi-dan-program-peningkatan-peran-masyarakat-dalam-penyelamatan-lingkungan-hidup-dan-pembangunan-berkelanjutan.php , diakses tanggal 26 Juni 2011.
Imam S. Ernawi, Harmonisasi Kearifan Lokal dalam Regulasi
Penataan Ruang, Makalah pada
Seminar Nasional “Urban Culture, Urban
Future : Harmonisasi Penataan Ruang dan Budaya Untuk Mengoptimalkan Potensi
Kota.”
I Nyoman Nurjaya, Kearifan Lokal dan Pengelolaan Sumberdaya
Alam, http://manifestmaya.blogspot.com/2008/01/kearifan-lokal-dan-pengelolaan.html, diakses tanggal 21 Juni
2011.
Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan, Unsri, Palembang,
2006.
______, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijakasanaan
Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2009.
Nurman Ali Ridwan, Landasan Keilmuwan Kearifan Lokal, Ibda, P3M STAIN Purwokerto, Vol. 5 No.
1 Jan-Jun 2007 |27-38.
Rudiansyah, Bunga Rampai Hukum Lingkungan (Kumpulan Bahan Kuliah), CV. Putra
Penuntun, Palembang, 2011.
Sukandi Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Sudarmadji, Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup
dan Otonomi Daerah, http://geo.ugm.ac.id/archives/125, diakses tanggal
26 Juni 2011.
Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah
Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
[2] Alvi Syahrin, Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Kerangka Hukum
Nasional, http://alvisyahrin.blog.usu.ac.id/2011/05/09/kearifan-lokal-dalam-pengelolaan-lingkungan-hidup-pada-kerangka-hukum-nasional/, diakses tanggal 21 Juni 2011.
[3] I Nyoman Nurjaya, Kearifan Lokal dan Pengelolaan Sumberdaya
Alam, http://manifestmaya.blogspot.com/2008/01/kearifan-lokal-dan-pengelolaan.html,
diakses tanggal 21 Juni 2011.
[5] Nurman Ali Ridwan, Landasan Keilmuwan Kearifan Lokal, Ibda, P3M STAIN Purwokerto, Vol. 5 No.
1 Jan-Jun 2007 |27-38, hlm.1.
[6] Alvi Syahrin, Loc.Cit.
[7] Imam S. Ernawi, Harmonisasi Kearifan Lokal dalam Regulasi
Penataan Ruang, Makalah pada Seminar Nasional “Urban Culture, Urban Future : Harmonisasi Penataan Ruang dan Budaya
Untuk Mengoptimalkan Potensi Kota.”
[8]
Ibid.
[9] Nurman Ali Ridwan, Op.Cit, hlm. 3.
[12] Sudarmadji, Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup dan Otonomi Daerah, http://geo.ugm.ac.id/archives/125, diakses tanggal 26 Juni 2011.
[14] Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan, Unsri, Palembang, 2006, hlm. 64.
[15] Wietoler dalam Erwan, Kearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi Lingkungan,http://www.esaunggul.ac.id/index.php?mib=content.detail&id=215&title=Kearifan%20Lokal,%20Pengetahuan%20Lokal%20dan%20Degradasi%20Lingkungan , diakses tanggal 21
Juni 2011.
[16] Cormick dalam Gusti Nurpansyah, Strategi dan Program Peningkatan Peran Masyarakat dalam Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan, http://www.gustinurpansyah.com/strategi-dan-program-peningkatan-peran-masyarakat-dalam-penyelamatan-lingkungan-hidup-dan-pembangunan-berkelanjutan.php , diakses tanggal 26 Juni 2011.
Langganan:
Postingan (Atom)